For Ads

Post Top Ad

Digerakkan oleh rasa bosan dan jemu, akhirnya saya izin pada diri untuk menuliskan lagi sesuatu yang datang ke dalam pikiran, untuk menuntaskan atas jawaban yang saya peroleh tentang Dialog Menjadi Manusia. Tidak ada tenggat waktu, hanya mengisi lubang dalam hidup yang sempat dicerabut atau tercerabut, tempo lalu.

Kepalaku sudah menuju usang. Dibanjiri oleh kekhawatiran-kekhawatiran yang membuat lem ingatan tak sanggup merekat dengan baik. Saya menjadi pelupa. Ya, itu masalah besar. Seperti tidak ada lagi yang bisa diingat dari tumpukan buku di dinding kamar. Saya sarankan, sebelum membaca catatan ini. Alangkah baiknya membaca Catatan sesi sebelumnya.

Rasa kerinduan ini muncul akibat Dialog Menjadi Manusia dan rasa syukur ku bisa memahami Tiga Titik Hitam. Tapi bukan itu yang akan aku ingin curahkan kali ini. Memaknai Ruang Rindu, Tentunya, perasaan damai itu akan dipertahankan dengan semaksimal mungkin dan berharap waktu tidak pernah beranjak dari kita meski sejenak meskipun pada akhirnya tetap kita tak kuasa menahan-Nya untuk beranjak meninggalkan kita.

Dengan begitu lembutnya, rindu yang muncul itu memberikan pemaknaan yang sulit. Bukan bermaksud memaknainya sebagai nikmat yang menjadikan ku lupa dan merasa tinggi derajat di mata-Nya sehingga sangat sulit dan menyesakkan dada dalam menguak arti sebenarnya apakah ini hanya sebuah fatamorgana atau nikmat yang nyata?

Seorang yang mencintai dirinya sendiri, ia akan mengkaji hakikat apa yang membentuk dia ada? Apa sebenarnya ada? Aku adalah sementara ada.

Aku hanyalah ada yang berusaha menjadi ada, aku sebenarnya tidak ada tapi berpikir maka aku ada, lantas siapa yang menjadikanku ada sehingga adanya diriku. Adanya diriku mempunyai tanggung jawab besar, entah kapan adanya diriku menjadi ketiadaan yang abadi.

Kerinduan yang sangat dan dalam selanjutnya hanya mampu dipendam, seraya berfikir mata terpejam dan membatin “Kita hanya mampu bertemu dalam ruang rindu (Ibadah; sholat)” dimana kita mampu bertemu/komunikasi dengannya meskipun dalam penglihatan semua itu tidak bisa kita sentuh dan raba kecuali hanya dalam perasaan dan suasana sunyi yang menentramkan.

Tuhan itu adikodrati yang secara mutlak berbeda dengan kosmos dan memang harus berbeda dengan kosmos. Tuhan adalah roh transenden yang tidak ada dalam dunia ini tetapi diseberang sana; Dialah sang ada, sedangkan dunia ini adalah benda.

Sebagai perindu yang sangat berharap balas kasih dari-Nya sudah tentu setiap moment yang indah dan nuansa-nuansa yang hadir dalam intensitas bertemu yang sangat jarang dirasakan oleh seorang hamba tidak akan dilupakan. Bahkan jika harus ditukar dengan apapun, kenangan itu akan selalu ia genggam dan takkan tergantikan. Meski persinggungan itu berupa teguran ataupun nikmat dari-Nya.

Aku mengabdi kepada Sang maha, bukan karena takut Neraka, bukan pula mengharap Surga. Tetapi aku mengabdi karena rasa Cinta ku kepada-nya. Jika aku menyembah-nya karena aku mengharap Surga: Campakanlah aku!! Jika aku menyembah-nya karena aku takut Neraka: Bakarlah Aku!! Tapi jika aku menyembah-nya karena demi Allah semata: Ku mohon janganlah engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahmu yang indah nan abadi, aku rindu.

Setiap Agama selalu bercerita tentang kenikmatan surga dan ketakutan Neraka. Sebab akhir tujuan bukan keduanya, tapi tujuan sesungguhnya adalah Sang Pencipta.

Dan aku adalah hamba yang sangat amatir, namun tidak munafik. (end)

Related Posts

1 komentar:

  1. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?

    QS. Ar-Rahman :)

    BalasHapus

Post Bottom Ad