For Ads

Post Top Ad

ArtikelCatatan

Feminisme dan Kesalahan Paradigma: Kebanyakan Perempuan Itu Dungu

Sejujurnya, aku tidak mengklaim bahwa aku seorang laki-laki feminis, juga bukan golongan patriarki. Feminisme sebagai salah satu bentuk teori kritis, mengandung dimensi praksis. Feminisme mengandung dimensi perlawanan yang terang; ia anti penindasan dan dominasi patriarki. Tapi bukan itu poin nya. Hanya saja, aku ingin tumpahkan segala presfektif pandangan ku tentang kesetaraan gender, agar semua manusia dapat hidup bersama dengan adil, harmonis dan setara. Aku tak akan menjelaskan dengan istilah filsafat yang rumit dan perkataan sarkas atau satire yang sulit di cerna.

Bismillahirrohmanirrohim..

Aku rasa jika harus kalkulasi mana yang lebih unggul, jelas perempuan, dan perempuan itu dungu bila merasa dirinya setara dengan pria. Mereka itu jauh lebih hebat dan faktanya selalu begitu. Apapun yang kau berikan pada perempuan, ia akan menjadikannya lebih baik. Jika kamu memberinya sperma, ia memberikanmu buah hati. Jika kamu beri dia tempat tinggal, ia akan memberimu rumah. Jika kamu beri dia bahan makanan, ia akan memberimu sesuatu untuk dimakan. Jika kamu beri dia senyum, ia akan memberimu hatinya serta melipat gandakan dan melebihkan apa-apa yang kamu berikan padanya.. Maka jika kamu memberinya sampah, bersiap-siaplah untuk menerima ton kotoran.

Menurutku. Laki-laki yang baik adalah laki-laki bisa menerapkan kesadaran feminis terhadap dirinya sendiri disetiap perilaku nya. Dan perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa menerapkan kesadaran patriarki terhadap dirinya sendiri disetiap perilaku nya. 

Praktik ini bagi laki-laki yang berupaya untuk kesadaran adalah tantangan yang sangat jelas; ia harus selalu siap mengalahkan potensi-potensi lahirnya pikiran dan laku misogini yang ada pada dirinya. Praktik ini harus terus dijalankan hingga doktrin misogini itu hilang sepenuhnya.

Ini semua aku lakukan tak lain karena aku yakin bahwa perempuan bukan hanya atribut kaum laki-laki, bukan subyek yang bilur dan retak; Perempuan sepenuhnya adalah subyek yang penuh. Bukankah ibu mu perempuan?

Agar tak menjadi laki-laki kadrun atau hidung belang, tak hanya menerapkannya pada praksis advokasi, aku juga menerapkan kesetaraan dan keadilan gender itu dalam keseharian ku. Pada tingkat mikro, aku melakukan pekerjaan publik dan domestik di keluarga. Karena umur ku masih terhitung sungguh sangat muda dan dulu nya sebagai anak korban broken home, menjadikan tulang punggung serta seorang kakak yang menghidupi keluarganya. Tapi bukan itu poin nya, melainkan rupanya tak sulit dan jelas pekerjaan-pekerjaan itu tak hanya urusan perempuan lho.

Agar tidak ada yang keliru, apakah harus dijelaskan yang telah ku kaji mengenai pandangan perempuan dalam Al-Quran?
Tadinya aku tak mau menjelaskan ini dengan sudut pandang Al-Quran, karena isinya semuanya hanya klaim tanpa didasari bukti. Tapi apa boleh buat, banyak yang menyerangku dengan perkataan “murtad, dzalim, anti-islam, antek-antek komunis, kafir, anak dajjal, iblis dsb.” yang faktanya kebanyakan yang menyerangku belum sepenuhnya mengkaji penuh kitab Al-Quran beriringan dengan logika, kalau khatam membaca saja anak sekolah dasar pun sudah banyak yang khatam. Maka dari itu, artikel ini khusus aku sunting untuk ditambahkan peran kiblatnya penuh ke Al-Quran. Padahal faktanya sama, untuk mendalami peradaban yang lebih mulia, hanya saja yang membedakan kecondongan (kalian yang menyerangku) fiqih mu terlalu langit.

Dan mengenai gambar karya ku di artikel postingan ini. Memang benar itu karya ku sendiri, akan tetapi tidak sedikit pun aku mendiskriminasikan ayat-ayat Al-Quran tsb. Melainkan itu adalah sebuah karya desain yang berbicara, yang dimaksud ayat tersebut membuat terbelenggu oleh kaum perempuan, bunyinya itu ya itu, tapi tidak dikaji lebih dalam mengenai ayat, dalil dan hadis tersebut. Hingga dia tidak tahu, mana sampul nyata, mana sampul dusta.

Bila melakukan kajian secara mendalam dan menyeluruh terhadap hukum-hukum Islam, akan menemukan fakta menarik bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang paling feminis. Pembelaan Islam terhadap perempuan adalah pembelaan terbesar yang pernah diberikan oleh agama samawi manapun dan pemerintahan manapun, termasuk pemerintahan yang mengaku beraliran demokrasi dan kebebasan. Kenyataan empiris yang kita temukan dalam masyarakat sama sekali tidak bisa dipakai sebagai parameter dari kebenaran atau kesalahan suatu ajaran. Sebagaimana yang dikatakan Lois Lamya al Faruqi, kita harus membangun suatu Quranic Society (Masyarakat Qurani), yang menerapkan aturan-aturan yang benar-benar murni dari Al-Quran, tidak dicampurkan dengan konsep-konsep pseudo-Islamic, yang meskipun berlabel Islam, namun justru pada hakikatnya malah sebaliknya yaitu anti-Islam.

Aku sarankan kamu harus beristirahat 15 menit untuk membaca artikel ini, agar bisa berkonsentrasi. Tak hanya sekedar membaca namun bisa memahami. 

Ironisnya, semakin jauh dari era Nabi berlalu, semakin jauh pula umat Islam dari penghormatan kepada perempuan. Atas nama Islam, kaum mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkukung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya. Dan dalam kancah politik, suaranya tidak begitu diperhatikan atau bahkan diabaikan sama sekali. Fenomena ini terlihat jelas di negara dengan penduduk mayoritas muslim.

Hari ini, kita melihat betapa banyak beredar hadis-hadis yang “merendahkan” perempuan.  Selain hadis-hadis populer, hadis-hadis yang banyak beredar adalah hadis-hadis yang hanya difokuskan kepada perempuan, belum lagi bila kita melihat berbagai penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran.

  • “Tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan,” atau “Aku tak menyaksikan orang yang kurang akal dan agamanya, dibanding perempuan,” Lalu, seorang perempuan bertanya, “Apa kekurangan kami ?” “Kekurangan akalnya, karena kesaksian dua orang wanita dinilai sama seperti kesaksian seorang pria. Kekurangan agamanya, karena seorang di antara kamu tak puasa di bulan Ramadhan (akibat haid), dan beberapa hari diam tanpa shalat.” (HR Abu Dawud)
  • “Bila perempuan telah menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan, menjaga kehormatan dan mentaati suami, maka dikatakanlah kepadanya; masuklah ke dalam sorga, dari pintu mana yang kamu suka.” (HR Ahmad dan At-Thabrani). Lalu bagaimana dengan laki-laki? Mengapa jarang beredar (dengan arti: para ulama jarang menyebarluaskannya) hadis-hadis tentang kewajiban laki-laki untuk berperilaku baik kepada istrinya atau bersikap sabar kepada istri?
  • Ar-Rijaalu Qawwamuuna alan-nisaa (QS 4:34), diartikan sebagai laki-laki harus memiliki kedudukan lebih tinggi daripada perempuan, sehingga dalam segala bidang, perempuan dianggap tidak berhak untuk memimpin, ayat ini pula yang banyak dipakai untuk menjegal pencalonan Megawati dalam pemilu tahun 2004 atau ayat “alladzi khalaqakum min nafsi wahidah wa khalaqa minha zawjaha (QS 4:1)” diartikan bahwa Hawa berasal dari tulang rusuk Adam, yang artinya perempuan itu subordinat-nya lelaki (disebut-sebut pula bahwa tulang rusuk itu bengkok, dan artinya perempuan itu “bengkok” sehingga harus “diluruskan” oleh laki-laki).

Hal tersebut di atas telah menimbulkan kesalahan cara pandang atau paradigma masyarakat muslim terhadap perempuan, termasuk kesalahan kaum perempuan dalam memandang dirinya sendiri. Dari sudut ini, bila kita hendak ber-husnuzh-zhan, sebagian besar para pejuang feminisme di Indonesia sesungguhnya adalah kaum muslimah yang melihat hukum-hukum Islam yang (sepertinya) tidak adil, dan kemudian merasa terpanggil untuk memprotes dan meneriakkan perubahan. Bila kita mau jujur, di sekitar kita dengan mudah bisa ditemukan berbagai bentuk ketidakadilan perilaku masyarakat muslim terhadap perempuan, yang mengatasnamakan Islam.

Bukan hal aneh bila kita mendengar ada anak perempuan yang dipaksa menikah oleh orangtuanya, perempuan yang diterlantarkan oleh suaminya yang mempunyai istri muda, perempuan yang ditalak begitu saja tanpa diberi bantuan keuangan oleh mantan suami, atau prinsip bahwa “perempuan tak perlu sekolah tinggi karena toh akhirnya hanya mengurusi dapur”. Belum lagi kalau kita bahas sistem rumah tangga yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Perempuan selalu dianggap memiliki kewajiban domestik (memasak, mencuci, mengurus anak), sehingga meskipun seorang perempuan mempunyai karir di luar rumah (dan mempunyai kontribusi pada penghasilan keluarga), begitu ia pulang ke rumah, sederet pekerjaan rumah sudah menunggu, sementara si suami dianggap berhak untuk beristirahat.

Anehnya, paradigma seperti ini diteruskan pula secara turun-temurun oleh perempuan sendiri. Contoh mudahnya, anak laki-laki akan dibelikan mainan mobil-mobilan oleh ibunya, sementara anak perempuan dibelikan mainan masak-masakan. Pulang sekolah, anak laki-laki boleh bebas bermain, sementara anak perempuan harus membantu ibu di dapur. Hadis-hadis dan riwayat mengenai Rasulullah yang menjahit sendiri sendalnya yang robek, Imam Ali a.s. yang membantu Sayyidah Fathimah mengerjakan pekerjaan rumah tangga, Imam Khomeini yang mengambil sendiri makanannya di dapur dan mencuci piringnya sendiri, seolah-olah lenyap begitu saja dalam lembaran-lembaran sejarah?

Penyebab Kesalahan Paradigma Dalam Memandang Perempuan, di zaman ketika penguasa zalim berkuasa, kezaliman itu tidak hanya akan dilakukan oleh sang raja, melainkan akan diikuti oleh orang-orang sekitarnya, dan seterusnya, sampai ke masyarakat kelas bawah. Proses ini akan berlanjut ke seluruh sendiri masyarakat, sehingga orang yang kuat akan menindas orang yang lemah. Salah satu korban terbesar dalam pemerintahan seperti ini adalah kaum perempuan karena laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih besar, sehingga dengan leluasa merendahkan perempuan.

Bahwa akar dari penindasan perempuan dalam masyarakat muslim adalah bercokolnya pemerintahan yang zalim dan despotik. - Qasim Amin, Bapak Feminisme Arab.

Para feminis Arab lain yang banyak menjadi rujukan kaum feminis Indonesia adalah Nawal Sa’dawi dan Fatima Mernissi, umumnya juga tidak memandang agama sebagai satu-satunya faktor penyebab penindasan terhadap perempuan. Sa’dawi menyamakan persoalan perempuan dengan masalah keterbelakangan. Keduanya bukan masalah agama sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik negara. Sementara itu, menilai struktur sosial-lah yang berperan dalam menyengsarakan nasib perempuan. Yang dimaksud struktur sosial adalah termasuk juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat.

Allamah Thabathabai menulis bahwa masyarakat Ahlul Kitab pada zaman risalah, zaman ketika nabi Muhammad menyampaikan Islam, hidup dalam pemerintahan yang despotik. Pada saat itu, masyarakat terbagi antara penguasa dan rakyat. Rakyat pun terbagi menjadi rakyat kaya dan rakyat miskin, sedang rakyat miskin terbagi antara yang miskin dan lebih miskin, seterusnya, sampai pada pembagian antara laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat seperti ini, laki-laki mendapatkan kebebasan dalam berbuat apapun, sementara perempuan diisolir dari berbagai bentuk kebebasan dan semata-mata menjadi pelayan laki-laki.

Karena sebagian besar masyarakat pada era sebelum Islam berorientasi pada laki-laki, sebagian para pemikir Islam yang terpengaruh oleh orientasi tersebut, alih-alih menyampaikan aturan-aturan Islami, malah menafsirkan teks-teks agama dengan paradigma yang berorientasi kepada laki-laki. Di sisi lain, kebudayaan Islam juga kehilangan kemurniannya karena adanya interaksi dan infiltrasi berbagai peradaban yang berorientasi kepada laki-laki.

Ilmuwan Iran, Doktor Fathiah Fattahizadeh, menyatakan bahwa selain pemerintahan yang zalim dan despotik, penyebab kesalahan paradigma kaum muslimin dalam memandang perempuan adalah juga pencampuran antara ajaran agama dengan tradisi, yang sayangnya justru disebarluaskan oleh para ulama dan para cendikiawan.

Fiqih Yang Bersahabat dengan Perempuan, bila dikaji lebih cermat, berbagai dalil yang dikemukakan dalam memposisikan perempuan, sering tidak dipaparkan sesuai konteks, atau malah hanya disampaikan sebagian saja. Misalnya, hadis, “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia masuk neraka”, sesungguhnya masih ada lanjutannya: Seseorang lalu bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang dimaksud dengan menuruti?” Rasulullah menjawab, “Yaitu, bila suami memperbolehkan istrinya pergi ke kolam renang, pesta perkawinan, perayaan, dan ke tempat orang meninggal, dengan menggunakan pakaian tipis dan sangat halus.”

Dengan demikian, jelaslah bahwa “menuruti” di sini adalah mengizinkan perempuan untuk berbuat sesuatu yang melanggar syariat. Mengenakan pakaian tipis keluar rumah memang jelas-jelas dilarang syariat. Namun karena tidak disampaikan secara utuh, hadis ini seolah-olah melarang laki-laki menuruti permintaan atau saran dari istri secara keseluruhan.

Sementara itu, hadis tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan, sesungguhnya telah disampaikan tanpa menyebutkan pendahuluannya sbb. “Ketika Rasulullah. mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat Putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa’i, dan Ahmad melalui Abu Bakrah). Jadi, hadis tersebut di atas ditujukan kepada masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan.

Mengenai hadis-hadis tentang kurang akalnya perempuan, mungkin bisa dicari jawabannya dari sisi psikologis atau konteks zaman, atau mungkin bisa ditelusuri kesahihan hadis tersebut. Sehingga kesan yang ditimbulkan bahwa Islam memandang rendah perempuan bisa dieliminasi. Karena, secara jelas dan tegas, Islam memang tidak pernah memandang rendah perempuan. Berbagai ayat Al Quran (3:195, 4:124, 16:97, 9:71-72, 33:35) secara tegas dan jelas memposisikan perempuan dan laki-laki secara setara dalam kewajiban mereka menegakkan nilai-nilai Islam, adanya sanksi yang sama terhadap perempuan dan laki-laki untuk semua kesalahan mereka, serta adanya pahala yang sama untuk amal saleh mereka.

Satu-satunya faktor yang membedakan perempuan dan laki-laki di hadapan Tuhan adalah keimanan dan ketakwaan mereka masing-masing.

Dalam masalah hukum waris yang sering diperdebatkan oleh kaum feminis, dan dituduh sebagai salah satu bentuk ketidakadilan Islam terhadap perempuan karena perempuan hanya diberi setengah, sebenarnya bisa dibahas sbb. Pada dasarnya Islam mensyariatkan untuk memberi imbalan yang sama atas prestasi yang sama, tidak pandang laki-laki atau perempuan, sedangkan soal waris bukanlah soal prestasi. Hukum ini harus didudukkan bersama-sama dengan hukum nafkah. Laki-laki wajib menafkahi saudara perempuannya, sedangkan perempuan tidak wajib menafkahi siapapun. Tanggung jawab keluarga dibebankan pada lelaki. Jika tanggungjawab ini tidak dijalankan, negara berhak campur tangan dan memaksanya sehingga hak-hak si perempuan itu tetap terpenuhi. Jadi, syariat Islam tidak berdiri sendiri-sendiri. Nikah, waris, nafkah saling berkaitan erat. Tidak bisa dipandang secara parsial.

Dalam pandangan saya, di sinilah peran penting para ulama dan pemikir perempuan muslim untuk meluruskan pemahaman umat tentang posisi perempuan dalam Islam. Kita meyakini bahwa Tuhan maha adil dan oleh karena itu, tidak mungkin ada ketidakadilan di dalam ajaran-Nya. Tuduhan-tuduhan atas ketidakadilan Islam, sebagaimana telah saya bahas di atas, berakar pada kesalahan paradigma kaum muslim sendiri dalam memandang perempuan, yang bersumber dari kesalahpahaman, pencampuran tradisi dengan agama, kejumudan cara berpikir mereka, serta berkuasanya pemerintahan yang despotik.

Syahid Murtadha Muthahhari,”Masalah seputar hak-hak dan hukum perempuan dari sudut pandang Islam, yang muncul dalam masyarakat kita hari ini, selain memiliki dimensi praktis juga memiliki akar pada masalah keimanan. Saat ini, ada berbagai kepercayaan dalam masyarakat yang tidak memiliki dasar, tapi kepercayaan itu dinisbatkan kepada Islam. Di sisi lain, berbagai perintah Islam yang hakiki belum dipahami oleh masyarakat karena nilai falsafah yang ada di dalamnya belum dijelaskan. Akibat dari semua itu adalah disalah gunakannya berbagai aturan dalam agama Islam tentang wanita oleh pihak luar, sebagai cara untuk menyerang dasar-dasar agama Islam.”

Kita perlu mengkaji Islam dengan dasar-dasar logika-nya yang kuat serta keluasan penafsiran filosofis atas berbagai hukum. Tanpa penafsiran filosofis, hukum Islam akan dipahami secara salah.
Sebagai contoh praktis dalam hal ini adalah dalam menyampaikan masalah kewajiban hijab. Ketika kita hendak membahas masalah jilbab, umumnya, pembahasan yang dikemukakan adalah berkaitan seputar ayat dan hadis yang memberikan perintah hijab kepada kaum muslimah. Cara ini akan terus mendapatkan jawaban negatif dari para pendukung feminisme, karena mereka akan mempersoalkan tafsir ayat dan hadist tersebut dengan mengemukakan penafsiran dari para ulama yang tidak mewajibkan hijab. Coba kita perhatikan bagaimana konsep hijab ini disampaikan oleh Sultana Yusuf Ali, seorang remaja Kanada, berikut ini.

“Saya sangat bersyukur karena tidak pernah menderita nasib harus bersusah-payah menaikkan atau menurunkan berat badan, serta mencari-cari warna lipstik yang sesuai dengan warna kulit saya. Saya telah membuat pilihan tentang apa yang menjadi prioritas, dan hal-hal seperti itu (kelangsingan badan, warna lipstik) bukanlah prioritas saya. Jadi lain kali, jika Anda melihat saya (menggunakan jilbab), jangan memandang saya dengan kasihan. Saya tidak sedang berada dalam paksaan dan saya bukan perempuan pengabdi laki-laki, yang menjadi tawanan di gurun sahara Arab. Saya telah terbebaskan.”

Dalam kacamata remaja muslimah ini, jilbab justru merupakan simbol kebebasan, yaitu kebebasan dari tatapan orang lain yang menilai postur tubuh, tata rambut, kecocokan baju dengan warna kulit, atau merek baju yang dipakai. Bila kaum feminis Barat memakai slogan ‘my body is my choice’ untuk mengesahkan apapun yang ingin mereka lakukan (termauk berpakaian minim atau seks bebas), Sultana Yusuf Ali mengatakan, “My body is my own business” (tubuh saya adalah urusan saya sendiri) untuk menyampaikan filosofi hakiki dari jilbab: yaitu membebaskan perempuan dari penilaian “kulit luar” dan perempuan akan dinilai dari akhlak, watak, dan keilmuannya. Artinya, jangan lihat tubuh ku, mau seksi atau tidak, itu urusan saya; lihatlah apa yang saya katakan, pikirkan, dan lihatlah karya saya!

Padadasarnya sebuah pikiran tak harus berjenis kelamin.

Para ulama dan pemikir yang ‘feminis’ daripada menyebarluaskan konsep-konsep Barat tentang feminisme, lebih baik menggali dan menyebarkan hadis-hadis yang lebih seimbang. Hadis-hadis tentang kewajiban perempuan untuk taat dan melayani suaminya dengan baik, memang harus terus dibacakan kepada kaum perempuan. Namun, sangat banyak hadis Nabi dan para awliya tentang laki-laki yang selama ini “diabaikan”, misalnya sbb.

– Rasullulah bersabda, “Barang siapa yang lebih baik kelakuannya, maka ia lebih sempurna imannya. Yang terbaik di antara kamu adalah yang berbuat baik kepada keluarganya.”
– Imam Ali mengatakan, “Perempuan dipercayakan kepada pria dan mereka (para perempuan) bukanlah pemilik keberuntungan atau kemalangan. Mereka bersamamu sebagai amanat Allah, maka janganlah kamu menyakiti dan membuat hidupnya susah.”
– Imam Ridha mengatakan, “Kaum perempuan Bani Israil telah menyimpang dari jalan yang benar karena kaum pria mereka tidak memperdulikan kebersihan dan penampilan baik. Apa yang kamu harapkan dari istrimu juga diharapkan oleh istrimu terhadapmu.”

Aku rasa, ini perubahan-perubahan yang baik, bukan hanya untuk diri ku sendiri, namun kamu yang sedang membaca. Baik pula karena aku menjadi paham, bahwa untuk menjadi laki-laki yang memandang sebagai subyek penuh yang sama setara dengan dirinya, meski harus dipraktikan setiap hari dan terkadang menemui tantangan dari dalam diri sendiri ternyata tak terlalu rumit dan dapat diupayakan. Mengenai poligami apa mesti saya bahas juga? Panjang loh... apalagi kalian senengnya sama dalil-hadis.
*reference; wikipedia / al-quran / ibu dina sulaeman

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad