For Ads

Post Top Ad

ArtikelCatatan

Anak Bukanlah Investasi Orang Tua

Investasi Masa Depan, Begitulah judul yang diberikan orang untuk foto anaknya yang dia unggah di media sosial. Foto itu menampilkan seorang anak perempuan cantik berusia sekitar tiga tahun, yang tersenyum lebar memamerkan giginya yang ompong. Raut muka sang gadis kecil itu polos dan mata bulatnya yang indah memancarkan keluguan. Saya berusaha mencari benda yang dimaksud teman saya dengan sebutan Investasi Masa Depan dalam foto tersebut.Tapi nihil, foto itu murni hanya menampilkan si gadis cilik cantik tanpa lembaran saham, buku tabungan, emas batangan, sertifikat tanah ataupun gundukan uang. Saya tertegun, yang dimaksudkan investasi masa depan adalah anaknya. Saya kembali memikirkan arti kalimat tersebut dan tiba-tiba terbayang di otak saya adalah Seorang anak yang lucu dan menggemaskan berada di dalam karung penyimpanan uang berlabel.

Hati saya tergelitik, menyadari bahwa saya tidak suka dengan istilah Investasi Masa Depan itu. Miris melihat orang tua mempunyai stigma bahwa anaklah adalah investasi dimasa depan. Kalkulasi untung rugi dengan sang anak, berharap sang anak akan menghasilkan pundi-pundi tabungan bagi orang tua atau menjamin kehidupan orang tua diusia pensiunnya. Saya sama sekali tidak suka dengan pemikiran dungu orang tua yang memikirkan anak adalah investasi masa tua. Anak memang harta yang tak ternilai, tapi jelas bukan investasi masa depan. Jelas sekali, kedua ungkapan ini berbeda makna.

Teringat kemudian sebuah obrolan ringan saya dengan bapak-bapak diwarung, saat saya sedang mencari angin untuk di warung kopi beberapa hari yang lalu. Dan sayangnya, seperti orang yang menggunggah foto di sosial media anak adalah investasi orang tua itu bukanlah satu-satunya orang tua yang melabeli anaknya dengan istilah Investasi masa depan, karenanya bapak-bapak yang berada di teras pun menyebutkan istilah yang sama.

“Anaknya ya pak?” Ujarku.
“Iya za” Ujarnya, sambil sang anak mencium tangan bapaknya ketika sang anak hendak berangkat kerja.
“Udah gede ya anaknya pak, cantik!” Ujarku,  memuji dengan tulus.
“Anak saya tiga Za, sudah gede-gede dan sudah mempunyai kerjaan semua” Ujarnya lagi dengan bangga.. “Tinggal petik hasil saja”
“Tinggal petik hasil?” Saya bertanya dengan bingung sambil bergumam, apa yang dimaksud dengan petik-petik hasil, seperti kebun sayur saja.
“Iya, anak itu kan investasi kita sebagai orang tua za” Si bapak menyahut dengan semangat “Susah-susah sekolahin sampai sukses, udah habis berapa duit coba. Sekarang saya sudah tua begini, ya.. tinggal metik hasil dari nyekolahin mereka. Jadi, tinggal nerima ini itu aja.”
“..............” Saya tidak bisa jawab, speechless. 

Setiap orang berbeda-beda pemikiran. Ada yang memikirkan anaknya dengan memetik hasil sekolah dari anak-anaknya. Adapun menikahkan sang anak dengan pria yang mapan, berharap orang tuanya naik derajat. Ada pula mengganggap sang anak adalah investasi akhirat (Ini saya akan bahas di sesi artikel berikutnya, Terlalu panjang dan sensitif jika dijelaskan diartikel ini, karenanya menyangkut akhirat, selaku netizen sensitif).

Mungkin bukan hanya saya yang pernah mengalami situasi seperti ini, mungkin teman-teman pun pernah mengalami apa yang saya alami, saat orang-orang disekitar menganggap anaknya adalah investasi bagi orang tua, statemen itu membebankan sang anak.

Tulisan ini akan sangat sensitif dan kelewat serius. Tapi saya percaya kepada teman-teman yang sering membaca dan terbiasa dengan tulisan saya ini, kalian open-minded. Membaca dengan sudut pandang berbeda. Saya tidak akan menjelaskan dengan istilah-istilah filsafat, kebetulan saya merasa terpanggil untuk meluruskan hal kelewat sederhana, tak bisa dicerna oleh otak tertutup tendensi.

Jika membaca membuatmu gemar merendahkan orang lain, periksalah! Kau ini memberi makan akal atau memberi makan ego mu?

Bissmillah, 
Saat kamu bayi, saat kamu begitu rapuh dan tidak berdaya. Kamu membutuhkan bantuan untuk dapat hidup. Segala segi kehidupan kamu tergantung pada orang tua kamu, dan kamu tidak mungkin dapat bertahan hidup tanpa asuhan dan perawatan orang lain, itu sudah pasti dan tak dapat di pungkiri.

Kamu tidak perlu meminta untuk segala asuhan dan perawatan itu, karena orang tua kamu secara otomatis akan melakukannya. Mereka akan menjaga, merawat, mengasuh, membimbing seta mengajarkan segala sesuatu dengan ikhlash dan penuh kasih sayang. Tidak perlu ada negosiasi. Tidak perlu ada perjanjian. Tidak perlu kalkulasi. Semua berjalan secara ilmiah. Yah, terkecuali bagi orang tua yang tega menelantarkan atau membuang anaknya.

Setelah kamu tumbuh dewasa dan berkeluarga, kamu pun akan melakukan hal yang sama kepada anak mu. Kamu akan menjaga, merawat, mengasuh, membimbing, serta mengajarkan segala sesuatunya kepada anak mu dengan ikhlas dan penuh kasih sayang. Tanpa perlu adanya negosiasi. Tanpa adanya perjanjian. Dan setelah anak tumbuh dewasa, maka diapun melakukan hal yang sama terhadap cucumu kelak. Begitu seterusnya, karena itu adalah seleksi alam, lingakaran kehidupan yang harus dijalani.

Sampai disini apakah kamu setuju dengan apa yang saya pikirkan? Jika setuju mari kita, rehat sejenak 15 detik. Agar kalian fokus mencerna, bukan hanya membaca.

Anak membutuhkan orang tua, maka orang tua harus dengan segala daya upaya terbaiknya merawat dan membesarkan anaknya. Dan hal itu dilakukan dengan tulus ikhlas karena rasa cinta yang terdalam kepada sang anak. Maka dengan demikian, sepengetahuan saya, tidak pernah ada utang budi antara anak dan orang tua yang diakibatkan oleh proses pemeliharaan. Keluarga bukanlah lembaga keungan. Kasih sayang keluarga bukanlah bank. Tidak ada yang namanya berhutang budi dalam keluarga, karena kewajiban setiap anggota keluargalah untuk saling mencintai satu sama lain. Dengan demikian, tidak ada yang namanya hutang budi antara orang tua dan anak.

Berdasarkan pemikiran inilah saya menenentang dengan keras orang-orang yang mengganggap anaknya memiliki hutang budi kepadanya, sehingga kelak setelah dewasa harus membalasnya. Kasih sayang yang tulus tak pernah mengenal balas budi. Rasa cinta yang tulus tak pernah memikirkan pamrih untung rugi. Bahkan Kamu sendiri rela melakukan apapun demi kebahagiaan orang yang kamu cintai. Itulah yang dinama cinta dan kasih sayang tanpa pamrih, dimana bentuk rasa cinta ini adalah cinta yang sangat mulia, dimana bentuk kasih sayang ini adalah kasih sayang tiada tara.

Lantas, apakah anda akan menuntut balasan atas cinta yang mulia tersebut? Manusia memang didesain untuk menjadi tua, rapuh, lalu kemudian kembali tidak berdaya, sama ketika dilahirkan kemuka bumi ini. Semakin tua tubuh ini, kita akan kembali membutuhkan bantuan orang lain. Dan saat itu kita tentunya mengharapkan dan mengandalkan anak kita untuk merawat masa tua kita.

Anak kita akan melakukannya karena rasa cintanya kepada kita, tanpa perlu meminta balas budi. Ia tak berhutang budi apapun kepada kita. Tindakan merawat kita dimasa tua kita pun merupakan lingakaran kehidupan, dan jika melakukannya itu adalah bentuk kasih sayang kepada orang tua.

Nah, sama halnya dengan anggapan bahwa anak adalah investasi masa depan, dimana anak diharapkan dapat menjadi penopang orang tua di masa tua. Memang benar, kita tentunya berharap dimasa tua kita nanti anak kita dapat merawat kita dengan penuh cinta kasih. Namun jika kita menganggap anak kita sebagai sebuah investasi, berarti kita mengharapkan suatu saat nanti dapat memperoleh keuntungan dari anak kita.

Saya sama sekali tidak setuju dengan hal ini. Jika anak nantinya diwajibkan untuk membayar kembali semua biaya yang pernah dikeluarkan untuk membesarkan dan menyekolahkannya atas dasar balas budi, itu berarti kita selama ini membesarkannya dengan perhitungan untung-rugi. Dan terlebih saya sama sekali tidak setuju dengan kata-kata si bapak di warung kopi “memetik hasil”.

Kita hidup dari apa yang kita dapatkan, tapi kita menciptakan kehidupan dari apa yang kita berikan.

Jaman sekarang sudah berbeda. Jaman dulu, dengan jenis pekerjaan yang belum beragam, tingkat pendapatan yang tidak seberapa, teknologi yang belum canggih dan serba keterbatasan, mungkin masih bisa dimengerti jika ada budaya menganggap anak sebagai investasi masa depan. Kerjaan orang jaman dulu kalau bukan bertani, ya berkebun atau menjadi nelayan. Dengan umur yang menua, tidak mungkin lagi mereka mencari nafkah sendiri. Sehingga secara masalah finansial orang tua dimasa senja sangat bergantung kepada sang anak.

Saya memang belum menikah, usia saya masih 21 tahun, belum mempunyai keluarga, apalagi mempunyai anak, hanya saja saya belajar dari pengalaman. Pengalaman saya selaku menjadi seorang anak, dimana orang tua saya menuntut saya untuk sukses mapan secara materi, menjadi beban bagi saya. Jika kelak saya tidak berhasil. Dan melihat pengalaman dulu, melihat nenek saya sedang dirumah sakit, anak-anaknya kalkulasi materi, dimana anak-anaknya bernegosiasi tentang pembayaran orang tuanya yang sedang dirawat. Miris bukan? Karena didikan nenek kepada anak-anaknya dulu, anak sebagai investasi. Jangan heran, jika rasa cinta tidak ada dalam keluarga. Maka dari itu saya ingin mematahkan statemen: Anak Investasi Masa Tua. Agar kelak saya mewarisi pemikiran positif-vibes generasi Marga Andana yang mendatang, Aamiin.


Jika saya diizinkan mempunyai keluarga dan mempunyai anak. Saya secara pribadi, tidak mengharapkan imbalan uang apapun dari anak saya. Kesuksesan dia dimasa mendatang sendiri menurut saya sudahlah bentuk hasil yang dapat kita nikmati: Kebanggaan telah mendidik anak dengan baik dan mengantarkan hingga menjadi orang sukses, bukan menuntut. Itu saja harusnya sudah cukup. Anak adalah titipan dan materi bukanlah tolak ukur apa yang diharapkan. Tapi, sekarang saya masih Jomblo.
Jika saya pensiun kelak. Saya dari dulu saat usia 16 tahun sudah memiliki visi dan memikirkan hal ini: Persiapan untuk menghadapi masa pensiun sangat terinci dan matang. Dari jauh-jauh hari, sudah mempersiapkan semuanya, dengan harapan setelah pensiun nanti mereka tidak sampai terbebani oleh saya. Menurut saya, anak saya nantinya memiliki kehidupan dan keluarga yang harus dia biayai. jadi saya tidak ingin jika nantinya anak saya hanya sibuk memikirkan bagaimana “memberi”.

Baik segitu saja yang saya jelaskan, mungkin esok jika diberi kesempatan, bagian kedua melihat dari sudut anak bukanlah investasi akhirat dimasa mendatang, akan saya jelaskan juga.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad